Jumlah Pengunjung

Monday, March 17, 2014

Contoh dan Analisis dari Kasus Pandemi, Endemi, Sporadik, Epidemik

·   Pandemi
Pandemi adalah epidemi penyakit menular yang menyebar melalui populasi manusia di kawasan yang luas, misalnya benua, atau bahkan di seluruh dunia. Fenomena pandemic yaitu Flu babi pada tahun 2009.
Wabah flu babi 2009 adalah pandemi galur virus influenza baru yang diidentifikasi pada bulan April 2009, yang biasa disebut sebagai flu babi. Galur virus ini diperkirakan sebagai mutasi empat galur virus influenza A subtipe H1N1: dua endemik pada manusia, satu endemik pada burung, dan dua endemik pada babi. Sumber wabah ini pada manusia belum diketahui, namun kasus-kasus pertama ditemukan di Amerika Serikat dan kemudian di Meksiko, yang mengalami peningkatan jumlah kasus, banyak di antaranya fatal.
WHO secara resmi menyatakan wabah ini sebagai pandemi pada 11 Juni 2009, namun menekankan bahwa pernyataan ini adalah karena penyebaran global virus ini, bukan karena tingkat bahayanya. WHO menyatakan pandemi ini berdampak tidak terlalu parah di negara-negara yang relatif maju, namun dianjurkan untuk mengantisipasi masalah yang lebih berat saat virus menyebar ke daerah dengan sumber daya terbatas, perawatan kesehatan yang buruk, dan bermasalah medis. Laju kematian kasus (case fatality rate atau CFR) galur pandemik ini diperkirakan 0,4 % (selang 0,3%-1,5%)
Sampai saat ini masih belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah infeksi. Berita terkini dari WHO menyatakan bahwa "74 negara secara resmi telah melaporkan 27.737 kasus influenza A (H1N1), termasuk 141 kematian.[4] Sampai 24 Mei 2009 hampir 90 persen kematian yang dilaporkan terjadi di Meksiko. Ini telah mengundang spekulasi bahwa Meksiko mungkin telah berada di tengah-tengah epidemi yang tidak diketahui berbulan-bulan sebelum berjangkitnya wabah saat ini. Menurut CDC, fakta bahwa kegiatan infeksi virus flu saat ini dipantau lebih cermat mungkin menerangkan mengapa lebih banyak kasus flu yang dicatat di Meksiko, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Sekitar setengah dari semua virus influenza yang dideteksi sejauh ini adalah virus baru H1N1, yang "menurut para pakar untuk saat ini tidak lebih buruk daripada influenza musiman

·      Endemi
Endemi adalah berlangsungnya suatu penyakit pada tingkatan yang sama atau keberadaan suatu penyakit yang terus-menerus didalam populasi atau wilayah tertentu. Fenomena endemic yaitu penyakit filariasis
Penyebaran penyakit filariasis hampir di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah dengan endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei darah padatahun 1999 tingkat endemisitas penyakit filariasis masih tinggi dengan rata-rata Mf  rate 3,1%. Hal ini menunjukkan bahwa penularan filariasis di Indonesia masih tinggi. Secara umum, Filaria bancrqfti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan ditemukan di perkotaan dan sekitarnya antara lain Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Lebak (Banten), Semarang dan Pekalongan. Filariasis malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Seram. Filariasis timori terdapat di Kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba. Penyakit filariasis terjadi apabila ada lima unsur utama yaitu, sumber penularan (manusia dan hewan sebagai reservoir), parasit (cacing), vektor (nyamuk), manusia yang rentan (host), dan lingkungan (fisik, biologik, ekonomi dan sosial budaya).
Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap transmisi filariasis. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang lain dengan tanaman air. Sedangkan daerah endemis W. brancofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat vektor penular yaitu nyamuk Culex quinquefaciatus. Habitat vektor filariasis sangat bervariasi antara lain berupa genangan air seperti rawa-rawa, yang sangat potensial untuk berkembangbiaknya. manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Dengan perkiraan sebanyak 90.2 juta penduduk dunia telah terinfeksi, lebih dari 90 % berasal dari jenis filariasis bancrofti dan kurang dari 10 % adalah jenis filariasis brugia .
Penyebaran dan penularan penyakit ini sangat erat kaitannya dengan social ekonomi dan perilaku yang menjadi factor utama terjadinya epidemi di masyarakat. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah. W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Di Indonesia B.malayi dapat menyerang manusia dan hewan.
     Kejadian filariasis dari hasil Riskesdas tahun 2007, menunjukkan bahwa dari 33 propinsi, Propinsi Papua Barat persentase responden yang menyatakan pernah terkena filariasis sebesar 0, 28%, Daerah Istimewa Aceh (D.I. Aceh) sebesar 0,25 %. Propinsi yang tidak ada kejadian filariasis dalam kurun waktu 12 bulan terakhir adalah Daerah Istimewa Yogjakarta (D.I.Y). Di Indonesia dilaporkan 22 propinsi telah terinfeksi filarisis diperkirakan sebanyak 150 juta orang, dan tertinggi ditemukan di Papua (WHO, 2001). Di daerah endemik risiko terkena filariasis > 10 - 50% dapat terinfeksi filariasis dan 10%. Sebagian diantaranya adalah wanita yang sering memberi dampak sosial, ekonomi serta mental secara psikologis, sehingga tidak dapat bekerja secara optimal dan hidup selalu tergantung pada orang . Secara statistik variabel jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan probabilitas terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir. Jadi tidak ada perbedaan yang nyata terhadap risiko terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir antara laki - laki dan perempuan.
Penularan filariasis dapat terjadi pada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula halnya dengan perbedaan kelompok umur, kelompok umur tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan probabilitas terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir. Jadi secara statistic tidak ada perbedaan yang nyata terhadap risiko terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir antara kelompok umur beresiko, yaitu umur di bawah 21 tahun dan umur di atas 35 tahun dibandingkan dengan kelompok umur tidak beresiko. Penularan terjadi pada siapa saja tidak tergantung umur tua atau muda, tetapi terjadi kontak dengan nyamuk vektomya atau tidak.
     Pemakaian kelambu merupakan satu cara pencegahan terhadap penyakit tular vektor termasuk filariasis, yaitu untuk memutus rantai penularan (menghindarkan kontak antara manusia dengan nyamuk vektor). Temyata secara statistik variable pemakaian kelambu tidak memiiiki hubungan yang signifikan dengan probabilitas terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir. Jadi secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata terhadap risiko terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir antara mereka yang semalam tidur memakai kelambu dan yang memakai kelambu. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena cara pemakaian kelambu yang kurang benar atau kelambu yang digunakan sudah tidak layak pakai (robek, sudah usang dan berlubang )
sehingga nyamuk masih dapat kontak dengan manusia. Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap transmisi filariasis. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang lain dengan tanaman air. Sedangkan daerah endemis W. brancofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat vektor penular yaitu nyamuk Culex quinquefaciatus.

·      Sporadik
Sporadik adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang berada di suatu wilayah tertentu dengan frekuensinya yang berubah-rubah menurut perubahan waktu. Adapun fenomena dari sporadic yaitu Virus polio.
Virus polio dapat melumpuhkan bahkan membunuh. Virus ini menular melalui air dan kotoran manusia. Sifatnya sangat menular dan selalu menyerang anak balita. Dua puluh tahun silam, polio melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh penjuru dunia. Tapi pada 1988 muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada 2004, hanya 1.266 kasus polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Umumnya kasus tersebut hanya terjadi di enam Negara. Kurang dari setahun ini, anggapan dunia bebas polio sudah berakhir.
Pada awal Maret tahun 2005, Indonesia muncul kasus polio pertama selama satu dasa warsa. Artinya, reputasi sebagai negeri bebas polio yang disandang selama 10 tahun pun hilang ketika seorang anak berusia 20 bulan di Jawa Barat terjangkit penyakit ini. (Lebih lanjut baca  "Polio: cerita dari Jawa Barat)  Menurut analisa, virus tersebut dibawa dari sebelah utara Nigeria. Sejak itu polio menyebar ke beberapa daerah di Indonesia dan menyerang anak-anak yang tidak diimunisasi. Polio bisa mengakibatkan kelumpuhan dan kematian. Virusnya cenderung menyebar dan menular dengan cepat apalagi di tempat-tempat yang kebersihannya buruk.
Indonesia sekarang mewakili satu per lima dari seluruh penderita polio secara global tahun ini. Kalau tidak dihentikan segera, virus ini akan segera tersebar ke seluruh pelosok negeri dan bahkan ke Negara-negara tetangga terutama daerah yang angka cakupan imunisasinya masih rendah.
Indonesia merupakan Negara ke-16 yang dijangkiti kembali virus tersebut. Banyak pihak khawatir tingginya kasus polio di Indonesia akan menjadikan Indonesia menjadi pengekspor virus ke Negara-negara lain, khususnya di Asia Timur. Wabah polio yang baru saja terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah krisis kesehatan dengan implikasi global.

·      Epidemi
Dalam epidemiologi, epidemi berasal dari bahasa Yunani yaitu “epi” berarti pada dan “demos” berarti rakyat. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incide rate (laju timbulnya penyakit). Fenomena epidemic yaitu HIV.
Dalam laporan bulanan kasus kumulatif kasus HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkeskesos, sampai Juli 2001 tercatat 50 kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat (Kalbar) yang terdiri atas 49 HIV (28 di antaranya nelayan asing yang sudah dipulangkan ke negaranya) dan 1 AIDS dengan kematian 1. Epidemi HIV di Kalbar selalu dikait-kaitkan dengan kehadiran nelayan Thailand.
Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV 1997 di Manila, Filipina, pembicara dari Indonesia, ketika itu alm. dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja Thailand, waktu itu berusia 17 tahun, aktivis di Population Council Thailand, karena menyebutkan penularan HIV di Merauke, Papua (d/h. Irian Jaya) terjadi karena kehadiran nelayan Thailand.
Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, ‘kan, datang ke sana. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke. Penduduk dari daerah dan negara lain pun ada yang datang Merauke. Begitu pula dengan penduduk Merauke tentu saja mereka juga bepergian pula ke luar daerahnya.
Bertolak dari fakta di atas tentulah cara-cara yang selalu menyalahkan pihak lain dan menuding nelayan suatu bangsa sebagai penyebar HIV tidak etis dan hal itu pun merupakan penyangkalan terhadap epidemi HIV yang sudah ada di depan mata dan penyebarannya pun sudah terjadi secara horizontal antara penduduk setempat. Bisa saja ada penduduk Kalbar yang tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri, atau sebaliknya ada penduduk dari daerah lain atau negara lain yang menulari penduduk Kalbar.
Dalam masalah HIV/AIDS seseorang berisiko tertular HIV jika (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukan hubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama dengan bergantian.
Maka biar pun prevalensi HIV/AIDS di Kalbar per 100.000 penduduk 0,02 tetapi kalau seseorang melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko maka kemungkinan tertular pun tetap ada. Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui sanggama yang tidak aman antara pria dengan wanita yang HIV-positif berkisar antara 0,03-5,6 persen untuk setiap kontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan, apalagi dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang suka berganti-ganti pasangan, maka risiko tertular pun meningkat pula.
Namun, biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis tetapi tidak sedikit orang, termasuk jajaran Depkes, yang panik. Misalnya, ada pernyataan Kakanwil Depkeskesos Kalbar yang mengatakan akan mengetes darah penduduk Kepulauan Karimata, Kabupaten Ketepang hanya karena ada nelayan Thailand yang mampir ke pulau itu jelas tidak rasional. Soalnya, belum tentu semua penduduk melakukan kegiatan berisiko, seperti bayi dan orang-orang yang sudah uzur. HIV tidak menular melalui pergaulan sosial.



 Sumber:

·         Budiarto dkk. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
·         Efensi dkk. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

No comments:

Post a Comment